Ketika Internet Mati: Mengapa Akses Informasi Adalah Hak Asasi Manusia di Tengah Krisis
Halo, Sobat Internet! Pernahkah kamu membayangkan hidup tanpa internet selama berhari-hari, apalagi saat krisis atau konflik melanda? Rasanya pasti seperti terisolasi, putus asa, dan tak tahu harus berbuat apa. Di tengah gejolak global yang terus-menerus terjadi, termasuk di berbagai belahan dunia seperti Timur Tengah, perasaan "72 jam di neraka" karena sulitnya akses informasi dan komunikasi adalah realita pahit bagi banyak orang.
Menggulir berita tanpa henti, mencoba menghubungi orang-orang terkasih yang berada di area terdampak, dan melihat gambar-gambar mengerikan dari tempat-tempat yang dulu indah kini diselimuti ketakutan—semua ini terasa begitu mentah dan menyesakkan. Di saat seperti ini, polarisasi yang memecah belah justru semakin melumpuhkan. Sulit menemukan siapa yang bisa dipercaya atau bagaimana harus bereaksi.
Pemutusan Internet: Bukan Solusi, Justru Ancaman Hak Asasi Manusia
Bagi saya, satu prinsip yang harus dipegang teguh adalah: pemutusan internet tidak pernah dapat dibenarkan. Entah itu di tengah perang, krisis, atau kondisi apa pun. Kenapa? Karena akses terhadap informasi, koneksi dengan sesama, dan kemampuan berkomunikasi adalah hak dasar setiap manusia.
Ketika kebebasan dasar ini terkikis, kita akan melihat konsekuensi mengerikan yang mengakar:
- Perang Semakin Membara: Tanpa informasi yang akurat, rumor dan propaganda mudah menyebar, memperkeruh situasi.
- Ekstremisme dan Radikalisasi: Isolasi informasi bisa membuat orang rentan terhadap narasi tunggal yang ekstrem, tanpa kesempatan untuk mendengar perspektif lain atau memverifikasi fakta.
- Keputusasaan dan Ketidakpastian: Masyarakat tidak bisa mendapatkan bantuan, menghubungi keluarga, atau bahkan sekadar mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka. Ini menciptakan trauma yang mendalam dan berkepanjangan.
Ini adalah isu universal. Tidak peduli apakah kamu tinggal di Timur Tengah atau Negara Barat. Klaim tentang "demokrasi" akan terdengar hambar jika kebebasan dasar warganya justru dikebiri.
Otonomi Masyarakat dan Harga Sebuah Kebebasan
Seringkali kita mendengar argumen bahwa masyarakat hanya peduli pada kebebasan dan keamanan ekonomi, dan bahwa kebebasan adalah kemewahan. Namun, pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa tidak ada kemakmuran ekonomi sejati tanpa kebebasan. Tanpa kebebasan berekspresi dan berinovasi, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Lebih dari itu:
- Tidak ada keamanan tanpa kebebasan: Ketika hak-hak dasar warga diabaikan, ketidakstabilan sosial dan konflik akan muncul.
- Tidak ada pertumbuhan tanpa kebebasan berpikir: Ide-ide baru, inovasi, dan kemajuan hanya bisa berkembang di lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
- Tidak ada kedamaian tanpa martabat: Martabat individu harus dihormati agar perdamaian sejati bisa tercipta.
- Tidak ada masa depan tanpa hak: Hak-hak dasar adalah fondasi bagi generasi mendatang untuk tumbuh dan berkembang.
Masyarakat memiliki otonomi. Jangan pernah menyalahkan reaksi mereka terhadap trauma yang dialami pada faktor eksternal semata. Mereka punya kapasitas untuk berpikir, merasakan, dan bereaksi. Perang, pada akhirnya, tidak pernah menghasilkan demokrasi yang nyata dan abadi—demokrasi yang berakar pada keadilan dan kebebasan sejati.
Melihat Kembali Trauma dan Harapan Masa Depan
Hati rasanya hancur ketika melihat anak-anak di berbagai belahan dunia mengalami trauma yang sama, atau bahkan lebih parah, dari apa yang dialami generasi sebelumnya. Ketakutan akan jendela yang dilapisi kaca, suara ledakan, atau kehilangan akses pada dunia luar adalah kenangan pahit yang seharusnya tidak lagi menghantui siapa pun.
Kita harus terus menyuarakan pentingnya kebebasan, akses informasi, dan martabat manusia. Ini bukan sekadar isu politik, tetapi isu kemanusiaan yang mendalam. Dengan memahami dan memperjuangkan hak-hak dasar ini, kita bisa berharap membangun masa depan yang lebih damai dan adil, di mana tidak ada lagi "72 jam di neraka" karena terputusnya koneksi pada dunia.