Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) tengah menjadi sorotan tajam. Beberapa pihak mengkritik proses penyusunan RUU ini yang dinilai kurang transparan dan minim partisipasi publik. Kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang memberikan peran ganda kepada militer dalam pemerintahan sipil.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menjelaskan bahwa pembahasan RUU TNI telah melibatkan 16 kementerian atau lembaga. Ia juga menyoroti perubahan pasal terkait usia pensiun TNI, di mana batas usia pensiun untuk perwira bintang satu ditetapkan maksimal 60 tahun. Untuk Tamtama dan Bintara maksimum berumur 55 tahun, untuk Perwira Pertama artinya Letnan Dua sampai Kolonel 58 tahun maksimum.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi membantah bahwa RUU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Ia menekankan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat TNI sebagai institusi negara, terutama dalam melindungi kedaulatan bangsa dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi negara. Prasetyo juga menambahkan bahwa penugasan prajurit TNI di luar 16 kementerian atau lembaga yang telah disepakati mengharuskan mereka untuk mengundurkan diri dari dinas militer.

Salah satu poin krusial dalam RUU TNI adalah Pasal 53 yang mengatur batas usia pensiun prajurit TNI berdasarkan pangkat. Perwira tinggi bintang 4, seperti Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan, memiliki batas usia pensiun maksimal 63 tahun. Perpanjangan masa jabatan dimungkinkan atas keputusan presiden, maksimal dua kali dengan masing-masing perpanjangan selama satu tahun.

Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi seperti YLBHI, Imparsial, dan Kontras, secara tegas menolak RUU TNI. Mereka menilai bahwa revisi ini tidak memiliki urgensi untuk meningkatkan profesionalisme TNI, justru berpotensi mengembalikan militerisme di Indonesia. Koalisi ini mendesak agar anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil di luar yang diatur dalam undang-undang untuk segera mengundurkan diri.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa rapat Panja Komisi I DPR RI terkait RUU TNI diadakan di hotel karena sifatnya yang maraton dan simultan dengan urgensi tinggi. Ia juga menegaskan bahwa pelaksanaan rapat ini telah mendapatkan izin dari pimpinan DPR dan sesuai dengan tata tertib.

Polemik RUU TNI terus berlanjut, dengan berbagai pihak menyampaikan pandangan dan kekhawatiran mereka. Penting bagi semua pihak untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif guna menghasilkan undang-undang yang benar-benar memperkuat TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan akuntabel.

Puan Maharani, Ketua DPR RI, menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dalam proses pembahasan revisi UU TNI yang memicu polemik. Ia mengklaim bahwa masukan dari seluruh elemen masyarakat telah dipertimbangkan dan tidak ada hal-hal yang mencurigakan yang dapat mencederai proses tersebut.