Gelombang aksi jual kembali menghantam pasar saham Amerika Serikat, menyeret turun indeks-indeks utama secara signifikan. Kondisi ini dipicu oleh kombinasi faktor, mulai dari kekhawatiran akan ketegangan tarif hingga potensi penutupan pemerintahan federal.

Para investor tampaknya mulai mengurangi posisi carry trade mereka, di mana mereka meminjam yen dengan suku bunga rendah untuk berinvestasi di aset-aset yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Pelemahan carry trade ini dipicu oleh ekspektasi kenaikan suku bunga di Jepang, yang membuat yen semakin menarik.

Saham-saham teknologi, termasuk kelompok Magnificent 7 yang berisi raksasa teknologi berbasis kecerdasan buatan, terkena dampak paling parah. Nasdaq mencatat penurunan harian terburuk sejak September 2022, dan secara resmi memasuki fase koreksi setelah turun lebih dari 10% dari rekor tertingginya.

Tom Hainlin dari US Bank Wealth Management berpendapat bahwa penurunan ini masih dalam batas normal untuk pasar saham. Namun, kekhawatiran tetap meningkat, dengan investor mulai menarik diri dari pasar. Data ekonomi terbaru belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan, tetapi risiko resesi di AS, Kanada, dan Meksiko semakin meningkat, menurut jajak pendapat Reuters terhadap para ekonom.

Indeks S&P 500 juga ditutup di bawah rata-rata pergerakan 200 harinya, sebuah level support krusial, untuk pertama kalinya sejak November 2023. HSBC menurunkan peringkat saham AS, mengutip ketidakpastian terkait tarif.

Thomas Hayes dari Great Hill Capital menekankan pentingnya memperhatikan pergerakan imbal hasil obligasi Jepang selain tarif untuk memahami dinamika pasar AS. Sementara itu, para legislator di Capitol Hill berjuang untuk meloloskan rancangan undang-undang pengeluaran guna mencegah penutupan pemerintah.

Tarif pembalasan Tiongkok terhadap impor tertentu dari AS mulai berlaku, sementara tarif baru AS terhadap logam dasar tertentu diperkirakan akan diterapkan dalam waktu dekat. Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan lingkungan pasar yang tidak pasti dan bergejolak.

Menurut laporan terbaru dari Bloomberg, volatilitas pasar diperkirakan akan berlanjut dalam beberapa minggu mendatang, seiring investor mencerna data ekonomi baru dan perkembangan politik.